Iklan

terkini

Moralitas vs Ambisi: Pencalonan Mantan Pecandu di Tengah Perang Anti Narkoba

Rabu, 09 Oktober 2024, Oktober 09, 2024 WIB Last Updated 2024-10-09T02:20:10Z


                   Oleh: Syaiful Bakri 


Perang terhadap narkoba yang dijalankan oleh pemerintah merupakan kebijakan penting yang bertujuan melindungi masyarakat dari dampak buruk penyalahgunaan narkotika. Dalam konteks ini, pemerintah tidak hanya berfokus pada tindakan represif terhadap pengedar dan pengguna narkoba, tetapi juga mengembangkan program pencegahan, penegakan hukum, serta rehabilitasi bagi mereka yang terjerat. 

Dengan posisi yang tegas dan kuat, pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh elemen masyarakat, termasuk pejabat publik, memiliki peran dan tanggung jawab dalam mendukung perjuangan ini. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan aman dari pengaruh narkoba yang merusak generasi muda dan kestabilan sosial.

Namun, situasi menjadi kompleks ketika seorang calon kepala daerah memiliki latar belakang sebagai mantan pecandu narkoba. Di satu sisi, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dan integritas calon tersebut dalam mendukung kebijakan pemerintah yang keras terhadap narkoba. Masyarakat dapat mempertanyakan apakah seseorang yang pernah mengalami masalah narkoba bisa dipercaya untuk memimpin perang terhadap narkoba di daerah yang dipimpinnya. Citra publik dan moralitas kepemimpinan menjadi isu utama di sini. 

Bagaimana seseorang dengan masa lalu yang kelam terkait narkoba dapat mengemban amanah sebagai pemimpin yang harus mendukung kebijakan pemberantasan narkoba? Pertanyaan ini menjadi penting, terutama di tengah harapan masyarakat akan figur pemimpin yang bersih, jujur, dan memiliki integritas.

Di sisi lain, terdapat argumen bahwa rehabilitasi dan pemulihan adalah bagian penting dari kebijakan pemerintah terkait narkoba. 

Jika seorang mantan pecandu telah melalui proses rehabilitasi dengan sukses, menunjukkan komitmen untuk hidup bersih, dan memiliki tekad kuat untuk berkontribusi positif bagi masyarakat, ia dapat menjadi simbol penting bahwa perang terhadap narkoba bukan hanya soal menghukum, tetapi juga tentang memberi kesempatan kedua. 

Dalam konteks ini, mantan pecandu yang telah sembuh dapat memberikan pesan bahwa pemulihan dan perubahan itu mungkin terjadi. Ia bisa menjadi contoh nyata tentang bagaimana seseorang dapat bangkit dari keterpurukan dan bertransformasi menjadi sosok yang memberikan dampak positif bagi lingkungannya.

Namun, meski mantan pecandu tersebut telah menjalani pemulihan, tantangan besar tetap ada terkait citra dan kepercayaan publik. 

Masyarakat, khususnya pemilih, mungkin masih skeptis terhadap kemampuan calon ini untuk menerapkan kebijakan keras terkait narkoba. Kredibilitasnya dalam melawan narkoba bisa dipertanyakan, terutama jika tidak ada bukti kuat bahwa ia benar-benar telah berubah. Bagaimana pun, perang melawan narkoba tidak hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang moralitas kepemimpinan dan keyakinan bahwa pemimpin yang dipilih mampu menegakkan hukum dengan integritas.

Dari sisi politik, pencalonan mantan pecandu narkoba juga akan menghadapi resistensi dari berbagai pihak yang menganggap masa lalunya tidak sejalan dengan perjuangan pemerintah dalam memberantas narkoba. Di sisi lain, ada juga yang melihatnya sebagai sosok yang berhak mendapatkan kesempatan kedua, terutama jika ia telah menunjukkan bukti nyata rehabilitasi dan komitmen terhadap perubahan hidup.

Isu narkoba merupakan masalah serius di masyarakat, sehingga publik perlu memahami latar belakang setiap calon. Namun, laporan ini memicu perdebatan di kalangan publik mengenai batas antara kampanye negatif dan penyampaian fakta yang dianggap relevan.

Viralnya pengakuan calon gubernur Jambi, RH, yang secara terbuka mengakui dirinya sebagai mantan pecandu narkoba dalam sebuah podcast bersama Pangeran Siahaan di YouTube menambah kompleksitas situasi ini.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa mantan pengguna narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Keputusan ini sejalan dengan penolakan permohonan uji materi mengenai syarat pencalonan dalam Pilkada 2020, yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016. Pasal tersebut melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun perbuatan tercela yang dimaksud meliputi judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina. Baca selengkapnya di: Antara News.

MK menjelaskan bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi. Pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat. Mantan pemakai narkotika yang secara sukarela melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.

Mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban dan berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi, serta telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi dengan bukti surat keterangan dari instansi negara yang berwenang.

Putusan MK tersebut perlu diterjemahkan secara cermat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan dituangkan dalam peraturan KPU (PKPU), sehingga menjadi acuan bersama bagi penyelenggara pemilu. Semua pihak diharapkan mematuhi dan mendukung putusan MK yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik, tanpa mengurangi hak konstitusional setiap individu untuk memilih dan dipilih.

Pada akhirnya, perang terhadap narkoba adalah perjuangan kolektif yang membutuhkan dukungan penuh dari seluruh elemen masyarakat, termasuk para pemimpin yang berintegritas dan bersih dari pengaruh narkotika. Publik memiliki hak untuk mendapatkan pemimpin yang mampu memegang amanah dalam memberantas penyalahgunaan narkoba, serta memastikan keberlanjutan kebijakan yang melindungi generasi masa depan. 

Di tengah kompleksitas pencalonan mantan pecandu narkoba, penting bagi masyarakat dan penyelenggara pemilu untuk secara bijak menilai integritas calon kepala daerah, dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan, moralitas, serta hukum yang berlaku. Sebagai bangsa yang berkomitmen untuk memberantas narkoba, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya bersih secara hukum, tetapi juga mampu menjadi teladan dalam menjalankan kebijakan yang tegas, konsisten, dan penuh tanggung jawab. Semangat antinarkoba perlu terus digaungkan, mengingat masih banyak calon-calon potensial lainnya yang memiliki rekam jejak bersih dari penyalahgunaan narkoba.(***) 


* Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Moralitas vs Ambisi: Pencalonan Mantan Pecandu di Tengah Perang Anti Narkoba

Terkini

Iklan