Iklan

terkini

Konflik Lahan Dipusaran Pasar Gelap Kekuasaan

Rabu, 14 September 2022, September 14, 2022 WIB Last Updated 2022-09-14T10:03:47Z


Penulis : Jamhuri – Direktur Eksekutif LSM Sembilan


Jambinow.id - Mengacu pada ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku tentang Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Daerah, diantaranya sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) huruf (a) dan (b) Undang - Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan amanat: ”memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. 

Dalam pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengkoordinasian administrasi terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administrastif  Kepala Daerah dibantu oleh Sekteraris Daerah yang lazim disebut dengan sebutan Sekda.

Pembantu Kepala Daerah (Sekda) tersebut mempunyai fungsi, antralain : pengkoordinasian penyusunan kebijakan daerah, pengkoordinasian pelaksanaan tugas Perangkat Daerah, pemantauan dan evaluasi dalam pelaksanaan kebijakan daerah, pelayanan administratif dan pembinaan aparatur sipil negara pada instansi Daerah, dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah terkait dengan tugas dan fungsinya.

Dengan Tupoksi yang diemban seorang pembantu kepala daerah diikuti dengan mengemban Kewajiban dan Hak yang diberikan agar campur tangan pemerintah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam melaksanakan tugas urusan pemerintahan konkuren yang terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan dapat terwujud sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Disinilah letak peranan hukum sebagai alat kontrol sosial agar pemerintah dapat memberikan pelayanan dengan kebijakan yang mengedepankan harkat, martabat, wibawah dan harga diri serta Kredibilitas Pemerintah yang bersih jujur dan adil serta pemerintahan yang dinamis (Dynamic Governance) suatu tatanan yang mampu menciptakan perasaan kehadiran pemerintah di hati masyarakat. 

Suatu tatanan pemerintah dengan phyramida birokrasi yang memiliki kebijakan yang terukur, yaitu suatu kebijakan dalam konsep budaya konstitusional, berjenjang naik bertangga turun, artinya suatu kebijakan yang tetap mematuhi dan berlandaskan pada ketentuan peraturan peerundang-undangan yang berlaku, yang lebih dikenal dengan sebutan ringkasnya yaitu hukum. 

Hukum selalu diartikan sebagai sebuah rule, yang berarti perintah dari kehendak penguasa lembaga kekuasaan, sehingga logis atau bukan merupakan sesuatu yang aneh jika hanya ada satu hukum dalam sebuah negara untuk mengatur rakyatnya. Hukum secara kodrati mengatur perilaku manusia, seburuk apapun hukum adalah jauh lebih baik daripada tidak ada hukum. 

Baik Hukum Positif maupun Hukum Adat memiliki Kodrat Hukum yang sama yaitu sebagai jalan untuk mencapai tujuan yang sama yaitu mewujudkan tujuan negara memajukan kesejahteraan umum sesuai dengan falsafah dan peradaban bangsa. 

Apalagi pada negara yang menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare State). Kwalitas produk dan pelaksanaan penegakan hukum menjadi parameter pengukur tingkat keberhasilan campur tangan pemerintah dalam menuju pencapaian tujuan negara yang dimaksud. 

Kwalitas keduanya yang akan menentukan apakah hukum sekedar perintah dari kehendak penguasa, ataukah sebagai pelindung kepentingan hajat hidup orang banyak ataukah hanya sekedar retorika semata. 

Ataukah hukum tidak lagi sebagai alat kontrol sosial dan hanya sebagai alat mutakhir dalam memperbudak hajat hidup orang banyak demi kepentingan segelintir manusia pembeli kekuasaan dalam pasar gelap kekuasan.

Tanggungjawab dan Campur Tangan Pemerintah tidak lebih dari sesuatu barang komoditas perdagangan untuk kembali diperjual belikan pada satu pusaran lingkaran kekuasaan yang terstruktur pada bagan phyramida kedaulatan. 

Suatu keadaan campur aduk antara ketiga jenis  lapisan kekuaasan ataupun phyramida kedaulatan sebagaimana pendapat Robert Morrison MacIver yang menyatakan terdapat tiga type system kekuasaan  yaitu sistem Kasta, Oligarki, dan Demokratis.

Dari pencampur adukan elemen phyramida kekuasaan maka akan melahirkan tirani dengan methode menempatkan hukum dan kekuasaan berada pada satu singgasana yang sama yaitu singgasana kekuasaan kedaulatan keuangan. 

Bahkan Pasar Gelap Kekuasaan mampu menempatkan Nurani berada pada level terendah dibawah Nalar, Naluri dan Nafsu. Membuat manusia melupakan prinsip Hukum yang secara kodrati mengatur perilaku manusia, seburuk apapun hukum adalah jauh lebih baik daripada tidak ada hukum. 

Dalam Pasar Gelap Kekuasaan, hukum tidak ubahnya sebuah mainan anak-anak yang dapat dipermainkan, disaat ini lah harkat, martabat, kredibilitas, dan kapabilitas serta kompetensi pemerintah dipertaruhkan demi pelayanan dasar bagi masyarakat dalam mencapai tujuan negara. Karena hukum tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa moralitas (Quid leges sine moribus).

Berdasarkan beberapa fakta hukum yang terjadi menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya lebih memahami hukum adat daripada hukum positive. Dari sinilah jalan mulus bagi tumbuh suburnya akar - akar permasalahan konfilik lahan. Masyarakat yang bersikukuh dengan ketentuan hukum adat dan tidak memahami tentang apa itu hak absentee tanah (batasan penguasaan atas tanah) dan tidak mengerti tentang pendaptaran tanah yang dikuasai, serta rendahnya tingkat perekonomian masyarakat.

Dari ambisi memperkaya diri dan dengan memanfaatkan kadar pengetahuan masyarakat tentang mekanisme penguasaan tanah yang lemah, dari sinilah awal mula lahirnya berbagai benturan kepentingan akan hak penguasaan atas tanah yang menjadi peluang terjadinya pasar gelap kekuasaan dengan tujuan yang sama yaitu memperkaya diri bagi sama - sama pelaku transaksi pada pasar gelap kekuasaan. 

Sesuatu keadaan yang menggambarkan bahwa hukum belum mampu menunjukan fungsinya yang merupakan salah satu pengendalian sosial (social control), bahkan hukum selalu menghadapi tantangan dari pertentangan berbagai kepentingan.

Modus operandinya dengan memanfaatkan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum diruang lingkup pertanahan seperti tentang Hak Guna Usaha (HGU), Izin Prinsip dan Izin Lokasi, menjadi pasar sejahtera kegiatan jual beli kekuasaan antara pembuat kebijakan dengan pihak pembeli kebijakan yang menempatkan hukum tunduk dan takluk dibawah kekuasaan. 

Konflik lahan tidak akan pernah berakhir sebelum adanya ketegasan para penguasa pembuat kebijakan untuk mengevaluasi dan menginventarisir HGU yang diterbitkan, sejauh mana kebenarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta sesuai dengan ketentuan tentang pelimpahan hak pemberian Hak Guna Usaha (HGU) termasuk menkaji bagaimana Keputusan Tata Usaha Negara tersebut diproses menyangkut tentang keabsahan perbuatan dan keabsahan hukum pemberian Izin Lokasi, Izin Prinsip dan serta bagaimana Izin Usaha Perkebunan (IUP) serta HGU itu sendiri diberikan.  

Kenyataannya konflik lahan merupakan petunjuk utama akan adanya kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa membuktikan bahwa terdapat perebutan kepentingan kekuasaan yang terjadi dalam dan menjadi penyebab utama terjadi perebutan kepentingan hak penguasaaan atas tanah sebagai salah satu anugerah Tuhan.

Perebutan hak yang didasari dengan perseteruan adu kekuatan kekuasaan para pihak yang bertikai, tidak satu pihakpun yang mau menerima kekalahan dan kesalahan. Fakta yang ada menunjukan bahwa pertikaian yang terjadi tidak hanya antara masyarakat dengan investor akan tetapi terjadi pada banyak sisi, dimana adanya rasa tidak percaya akan kemampuan serta keberpihakan pihak penguasa pembuat kebijakan.

Pemerintah dengan hak dan kewenangan yang dimiliki dinilai lebih dominan menunjukan sikap keberpihakan terhadap penerima HGU, dimana mereka dinilai telah dengan sengaja mengabaikan kebenaran fakta physik dan fakta yuridis menyangkut hak penguasaan atas tanah ataupun telah dengan sengaja mengabaikan hak-hak masyarakat. Suatu keadaan yang begitu Ironis dimana oknum Pejabat dan/atau Penyelenggara Negara yang berbuat akan tetapi hukum yang dihujat dengan kata-kata “hukum tajam kebawah tumpul keatas”. 

Sehingga dari sikap sebagaimana penilaian tersebut lahirlah HGU-HGU bodong tidak hanya sebatas itu, akan tetapi masyarakat menilai dengan sebagian besar berdasarkan pada fakta lapangan yang melihat adanya perluasan HGU otomatis atau penguasaan tanah yang tidak sesuai dengan fakta Administrasi sebagaimana pada Keputusan Tata Usaha Negara yang diberikan. 

Masyarakat tidak melihat adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak berkompeten dengan hak dan kewenangan yang melekat pada kedudukan dan jabatan yang dimiliki atas persoalan bertambahnya ukuran bidang tanah yang dikuasai oleh Penerima HGU melebihi dari ukuran yang diberikan sebagaimana pada Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Atau dengan kata lain adanya tindakan pembiaran yang dilakukan dengan sengaja serta dengan mengedepankan prinsip Loyalitas dan Royalitas buta dan kebablasan dengan dalih adanya faktor perasaan tidak enak atau saling menghargai sesama Pejabat Negara dan/atau Penyelenggara Negara menyangkut hubungan emosional antara Senioritas dan Yunioritas penguasa Kekuasaan. 

Entah disadari atau tidak prinsip itu adalah merupakan suatu alat atau senjata utama dalam melakukan perbuatan merampas hak-hak masyarakat sebagai warga negara untuk dihidup layak serta memiliki kesamaan hak dan kedudukan atau mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law). 

Bukanlah merupakan suatu penilaian yang tidak memiliki alasan, sebab dengan mengacu atau berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 juncto Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 khususnya dalam hal pemberian HGU yang telah menetapkan berbagai dokumen yang harus dilampirkan sebagai persyaratan untuk mendapatkan Hak Guna Usaha.

Antara lain yaitu izin lokasi atau surat izin penunjukkan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan bukti pemilikan perolehan tanah yang diikuti dengan bukti-bukti berupa pelepasan kawasan hutan, atau pelepasan tanah hak milik adat, surat-surat bukti perolehan tanah lainnya, maka dengan adanya konflik lahan maka penilaian itu adalah merupakan sesuatu yang wajar dan manusiawi.

Jika semua telah sesuai dengan prosedur sebagaimana ketentuan diatas merupakan suatu hal yang teramat sangat aneh jika masih maraknya kejadian konflik lahan. 

Sejumlah kejadian perebutan kekuasaan atas tanah menandakan bahwa ada kemungkinan Konflik Lahan sengaja diciptakan demi suatu kepentingan dan keuntungan bagi segelintir oknum manusia dengan kepentingan Individualismenya masing-masing. 

Konflik lahan memberikan signalement adanya sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mungkin saja adanya penyampaian persyaratan yang dimaksud dengan memberikan lampiran hasil dari rekayasa dokumen atau dengan membuat dan mempergunakan dan/atau menyuruh orang lain mempergunakan sesuatu dokumen palsu yang dijadikan seakan-akan tidak palsu, khususnya untuk dokumen tentang pelepasan tanah hak milik adat, surat-surat bukti perolehan tanah lainnya termasuk dokumen menyangkut pemberian ganti rugi atas tanah yang akan dikuasai. 

Contoh adanya kejadian bagaimana masyarakat dianggap oleh pihak investor masing-masing memiliki bidang tanah seluas 8 Ha (Delapan Hektar) dan diberikan ganti rugi masing-masing hanya sebesar Rp. 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah). 

Artinya adanya upaya melakukan rekayasa dan manipulasi tentang luasan bidang tanah masyarakat dan harga tanah masyarakat tidak lebih mahal daripada harga sebuah permen murahan sekalipun, yaitu dengan harga rata-rata yang tidak sampai Setengah Rupiah, hanya seharga Rp. 0,125,00 (Seratus Dua Puluh Lima Sen) per Meter persegi. Sesuatu yang memberikan gambaran betapa tidak berharganya harta kekayaan bangsa.

Konflik lahan juga memberikan petunjuk kepada publik bahwa lemahnya atau mungkin saja tidak ada sama sekali komunikasi dan konsolidasi lintas sektoral antara pihak BPN selaku Leading Sektor penerbitan HGU dengan Pihak Pemerintah Daerah sebagai pemungut Pajak dan Retrebusi Daerah berupa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

Minimnya Koordinasi dan Konsolidasi tersebut menampakan ketidak berdayaan Pemerintah Daerah sebagai kepanjangan tangan daripada pemerintah pusat dalam melaksanakan urusan pemerintah konkuren. Pemerintah Daerah terlihat seperti tidak berdaya dan tidak mampu menyusun kebijakan untuk melakukan inventarisir Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit guna melakukan penertiban lahan dan penegakan hukum terkait atas dugaan sejumlah HGU bodong yang ada. 

Kebijakan tersebut tentunya akan berpengaruh pada keuangan negara sebagaimana amanat Pasal 12 ayat (1) huruf (a) Pemerintah Nomor 40 tahun 1996  tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dengan amanat: “Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk: a. membayar uang pemasukan kepada Negara”. 

Dengan besaran nilai kewajiban tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional sebagaimana telah digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 128 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Dengan mempergunakan ataupun berlandaskan azaz Causalitas dan Fiksi Hukum dalam melihat beberapa fakta hukum menyangkut Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) sebagaimana diatas menunjukan adanya perbuatan yang mengarahkan pemikiran dan pendapat kepada praduga adanya perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja.

Suatu tindakan yang sekaligus merupakan sesuatu perbuatan yang melecehkan harkat dan martabat serta kredibilitas pemerintah dan masyarakat atau bangsa yaitu yang ditunjukkan dengan adanya pengajuan permohonan Perubahan Izin Usaha Perkebunan (IUP), yang secara terang-terangan mengakui adanya pengusaan bidang tanah di luar HGU dan IUP serta berada pada kawasan sempadan sungai serta pemberian ganti rugi yang tidak manusiawi serta mempermainkan hukum.

Dalam  Permohonan dimaksud   dengan jelas dan terang-terangan menyatakan Luasan Tanah yang diajukan dengan Bidang Penguasaan di luar HGU yaitu dengan ukuran seluas  ±  397,69 Ha (Tiga Ratus Sembilan Puluh Tujuh koma Enam Puluh Sembilan Hektar) dan Bidang Penguasaan di Luar IUP yaitu seluas  ±  721,23 Ha (Tujuh Ratus Dua Puluh Satu koma Dua Puluh Tiga Hektar). 

Bahkan Permohonan dimaksud   memuat keterangan yang menyatakan adanya bidang tanah yang akan digunakan melewati batasan sempadan sungai sebagaimana yang telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai.

Suatu pengakuan tertulis pada suatu fakta administrasi dan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang baik sebagian maupun secara keseluruhan memiliki ancaman hukuman pidana yang cukup berat yaitu diatas 5 (Lima) tahun penjara dan denda sebanyak 4 (Empat) kali lipat dari PNBP terhutang.

Fakta hukum lainnya yang mendasari pemikiran adanya praktek pasar gelap kekuasaan yang justru berasal dari Institusi Pemerintah yang memberikan keterangan secara bertanggung jawab pada suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dengan pernyataan untuk HGU dengan ukuran lahan atau tanah seluas 2.359,12 Ha (Dua Ribu Tiga Ratus Lima Puluh Sembilan koma Dua Belas Hektar) dengan tanpa memberikan pemasukan pada kas negara sepeserpun alias Rp.0 (Nol Rupiah). 

Fakta yang menunjukan adanya indikasi perbuatan oknum Pejabat Negara yang telah dengan sengaja diatas suatu  Keputusan Tata Usaha Negara dengan melakukan sesuatu perbuatan yang merendahkan dan/atau menjadikan penguasaan negara atas Sumber Daya Alam (SDA) tidak memiliki harga sama sekali, bahkan tidak lebih berharga dibandingkan dengan barang rongsokan yang dipungut oleh pemulung di tempat - tempat pembuangan sampah.

Berdasarkan perspektif  Causalitas dan Fiksi Hukum jelas kedua fakta tersebut menunjukan kejadian tersebut disebabkan karena adanya hubungan emosional dengan ukuran kedekatan yang timbal balik antara kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan keuangan. 

Tentunya hubungan kedekatan timbal balik tersebut akan terjadi di pasar gelap kekuasaan. 

Secara Normatif tidak mungkin seorang Pejabat Negara maupun Penyelenggara Negara akan berani dengan tanpa moral melakukan perbuatan yang diketahui dan disadari bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa adanya permupakatan yang saling menguntungkan para pihak sebagai pelaku transaksi di Pasar Gelap Kekuasaan.

Dengan Kekuasaan Keuangan dapat membeli Kekuasaan Pemerintahan setidak-tidaknya dalam ruang lingkup hak dan kewenangan dalam membuat kebijakan, serta dapat dan mampu melumpuhkan hukum, memberikan kemudahan sesuai dengan keinginan pembeli, dengan orientasi memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pihak pembeli. Serta dengan sikap tega menkhianati amanat rakyat yang diterima dibawah kekuatan sumpah jabatan, atau mungkin saja masyarakat telah salah menitipkan amanah kekuasaan.

Tidak hanya sebatas itu kejadian yang  terjadi disebabkan karena pihak oknum penjual tidak perduli akan hilangnya harkat dan martabat serta harga diri sebagai penyelenggara negara ataupun pejabat negara, akan tetapi menunjukan Moralitas yang rendah dari oknum pelaku, yang tidak lebih mulya daripada Moral pelaku penyakit masyarakat yang melacurkan diri demi uang.

Ukuran harga dirinya hanya sebatas alat pemenuh nafsu serakah status sosial, tanpa disadari dari transaksi haram sebagaimana yang didugakan diatas akan melahirkan suatu pergeseran terhadap Kredibilitas dan Akuntabilitas Pemerintahan serta merubah makna konstitusional daripada PNBP yang semula berarti Pendapatan Negara Bukan Pajak berubah menjadi Pendapatan Negara Buat Pribadi.

Untuk penghasilan negara diatur dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sementara untuk pendapatan daerah ada yang namanya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ditetapkan dan diatur dengan Undang - Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retrebusi Daerah.

Tujuan penerbitan Undang-Undang tersebut untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta meningkatkan Akuntabilitas Daerah (local accountability). Akan tetapi untuk Perkebunan terdapat pengecualian dengan tidak dikenakan kewajiban atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 

Sehubungan dengan adanya kebijakan Pemerintah Pusat melakukan pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, sebagaimana amanat Undang-Undang Pajak dan Retrebusi Daerah yang dimaksud telah memberikan amanah kepada pemerintah untuk menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan. 

Oleh karena itu maka pemerintah telah menerbitkan seluruh  peraturan pelaksanaan dan petunjuk tekhnis yang diamanatkan oleh undang-undang, yang terdiri dari 2 (Dua) Peraturan Pemerintah, 2 (Dua)  Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, 4 (Empat) Peraturan Menteri Keuangan, dan 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) peraturan pelaksanaan Undang - Undang Nomor

28 Tahun 2009 yang berkaitan dengan BPHTB, persoalannya bukan terletak pada tentang banyaknya peraturan yang diterapkan akan tetapi seberapa jauh kemampuan melaksanakan dan mematuhi peraturan itu sendiri. 

Pertanyaannya sejauh mana pemegang hak dan amanat konstitusional mampu menempatkan peraturan secara proforsional dan profesional agar PNBP benar - benar berada pada posisi sebenarnya sebagai salah satu sumber pendapatan bagi keuangan negara dan BPHTB sebagai sumber Pendapatan Asli Derah (PAD) dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan negara memajukan kesejahteraan umum dan APBN berada pada posisi sesuai dengan Proforsi yang sebenarnya dan tidak mengalami pergeseran makna menjadi Anggaran Penambah Beban Negara. Sekali lagi kembali ditegaskan bahwa hukum tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa moralitas (Quid leges sine moribus).

Jika hukum mampu ditegakan sebagaimana mestinya tentunya tidak akan terjadi suatu keadaan sebagaimana yang diungkap oleh Lord Acton dengan pandangan  yang menyatakan bahwa Korupsi dan Kekuasaan ibarat dua sisi mata uang, Korupsi selalu mengiringi perjalaan Kekuasaan dan sebaliknya Kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindakan Korupsi, dengan addagiumnya Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan itu cenderung Korup dan Kekuasaan yang Absholut akan cenderung Korup Absholut).

Ada Postulat yang mengatakan bahwa Korupsi mengikuti watak kekuasaan jika kekuasaan tersentralistis maka korupsipun akan mengikuti wataknya tersentralistis juga. Semakin tersentralisasi maka akan semakin hebat pula korupsi dipusat kekuasaan tersebut.

Sebaliknya jika yang terjadi adalah pada ranah otonomi maka korupsipun mengikuti sejajar dengan otonomi itu. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom maka korupsi akan mengikutinya berpindah ke banyak pusat kekuasaan.   

Diperlukan ketegasan Pemerintah menyelenggarakan urusan Konkuren Pemerintah terutama Pejabat Negara yang berhubungan secara langsung dengan Perekonomian dan Sumber Daya Alam, misalnya Kepala Biro pada pemerintahan yang harus memiliki kemampuan dan kompetensi dalam menyusun dan menjalankan kebijakan menyangkut sumber Pendapatan Negara dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berupa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB), dan Kuota 20% yang menjadi Hak Masyarakat setempat. 

Tidak hanya sebatas itu persoalan lainya yaitu menyangkut tentang Pajak Air Permukaan (PAP), Pajak Air Tanah, Pajak Air Komersil, sesuai dengan perhitungan Nilai Perolehan Air (NPA), Kebijakan dan Kompetensi serta Sertifikasi tenaga pemeriksa pada Laboratorium Lingkungan Hidup Daerah sebagai pintu masuk bagi PAD. 

Terutama tentang Sertifikasi tenaga pemeriksa yang akan berpengaruh pada kwalitas dan kredibilitas pemeriksaan yang termasuk pada kategori hasil pemeriksaan bodong atau tidak sah (cacat hukum) yang berakibat pada pendapatan yang didapat oleh Kas Daerah adalah pendapatan Illegal. 

Ini semua menunggu dan membutuhkan suatu kebijakan dari Pejabat yang memiliki hak dan kewenangan yang melekat pada kedudukan dan jabatan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber Pendapatan bagi Keuangan Negara/Daerah dan Sumber Daya Alam.

Termasuk kemampuan tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Parkir terutama di daerah - daerah yang banyak potensi pendapatan dari perparkiran seperti daerah-daerah yang terdapat Pabrik Kelapa Sawit yang hak pengelolaan dan penguasaan serta pemanfaatan tanahnya diberikan oleh negara. 

Suatu keharusan dan kewajiban yang menuntut adanya kesadaran individu pejabat yang mengerti tentang Tugas Pokok dan Fungsi menjalankan pemerintahan itu berarti melihat ke depan dan merencanakan apa saja yang akan atau harus dilakukan (Gouverneur C’est Prevoir). 

Tidak hanya sebatas kemampuan menebar pesona kedekatan dengan pemimpin serta menjilat guna mendapatkan dan mempertahankan jabatan, agar termasuk dalam Barisan Pengukur Jarak Kedekatan hingga dapat dengan leluasa memberikan Daftar Usulan Kekerabatan dan Keberuntungan menikmati sarana prasarana yang diberikan oleh negara. Dimana Kekuasaan dan Jabatan dipandang sebagai salah satu pintu utama memperkaya diri sendiri.

³4Menyangkut keterangan sebagaimana fakta administrasi menyangkut HGU dan IUP serta Pemasukan Nol Rupiah tersebut mampukah melaksanakan ketentuan Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retrebusi Daerah jouncto PP 13 tahun 2010 sebagaimana yang telah digantikan dengan PP 128 tahun 2015 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. 

Agar PNBP dan BPHTB benar-benar dapat diwujudkan untuk menerapkan konsep campur tangan pemerintah dalam mencapai tujuan negara pada negara yang menganut paham negara kesejahteraan (Welfare State) dan serta akan menempatkan hukum benar-benar sebagai alat sosial kontrol. 

Hukum dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas (Inde Datae Leges be Fortior Omnia Posset).

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Konflik Lahan Dipusaran Pasar Gelap Kekuasaan

Terkini

Iklan